Apakah IKHLAS menjadi busana kita?


Oleh : AYIP BUNYAMIN

Ikhlas berasal dari Bahasa Arab yang artinya bersih, murni. Kalau dikatakan ibadah kita harus ikhlas, artinya ibadah kita harus murni hanya kepada Alloh, bersih dari unsur-unsur tujuan kepada selain Alloh. Secara mudahnya, ikhlas adalah penerapan dari ucapan:

Lillaah
artinya :
untuk Alloh
karena Alloh
untuk (beribadah kepada) Alloh
karena (mengikuti perintah) Alloh

Setiap ibadah yang diniatkan Lillaah, maka ibadah itu ikhlas. Jika niatnya tidak Lillaah, maka apapun bentuk ibadahnya menjadi tidak ikhlas.

Contoh: kita berdzikir membaca asma’ul husna 1000x, kalau niatnya untuk beribadah kepada Alloh (Lillaah) maka dzikirnya ikhlas, tapi kalau niatnya karena ingin naik jabatan atau ingin dapat jodoh atau ingin laku properti atau yang lainnya (keinginan = nafsu) maka dzikirnya tidak ikhlas tidak murni kepada Alloh, dzikirnya tidak untuk Alloh tapi untuk keinginannya/nafsunya.

Kita puasa, periksa niatnya, kalau niatnya karena mengikuti perintah Alloh (Lillaah) maka puasa kita ikhlas. Tapi kalau niatnya karena ingin diet, menurunkan berat badan, maka puasa kita tidak ikhlas. Kalau sudah tahu tidak ikhlas, segera ganti dengan ikhlas.

Kita sedekah, periksa niatnya, apakah niatnya karena Alloh atau karena ingin dapat balasan 10x lipat dari Alloh (sesuai janji Alloh), kalau niatnya karena ingin balasan 10x lipat maka sedekahnya tidak ikhlas, karena bukan karena Alloh tapi karena balasan dari Alloh.

Kita punya keinginan, ingin membangun masjid sendirian, periksa keinginan kita apakah keinginan kita itu untuk beribadah kepada Alloh atau ingin pamer kekayaan dengan membangun masjid sendirian. Kalau niatnya benar karena Alloh semata (Lillah) maka keinginannya itu ikhlas.

Kita shalat tahajud, periksa niatnya, apakah sesuai dengan yang kita ucapkan “Lillaahi ta’aalaa” (untuk beribadah kepada Alloh) ataukah palsu karena ingin menang tender? Kalau kita shalat karena ingin menang tender (tidak Lillah), maka shalat kita tidak ikhlas.

Lalu, apakah kita tidak boleh punya keinginan?

Tentu saja boleh, bahkan Alloh dan Rosul-Nya menganjurkan kita untuk memiliki keinginan yang baik-baik. Ingin menjadi orang kaya, ingin punya suami yang ganteng / istri yang cantik, ingin punya anak dan keturuan yang sholeh, ingin sehat, ingin mati dalam keadaan khusnul khotimah, ingin masuk sorga, dan sebagainya.

Tapi, jangan sampai keinginan-keinginan itu menjadi tujuan (akhir) dalam beramal, jangan sampai menghalangi ibadah kita untuk sampai kepada Alloh. Ibadah kita jangan mentog (berakhir) pada keinginan sehingga tidak sampai kepada Alloh. Justru kalau kita punya keinginan, keinginan-keinginan itu harus diniatkan Lillaah. Ingin jadi orang kaya Lillaah, Ingin punya suami yang ganteng/istri yang cantik Lillaah. Ingin masuk sorga Lillaah (karena perintah Alloh). Dan seterusnya.

Jadi Lillaah ini harus menjadi tujuan akhir dari seluruh amal kita. Ucapan, perbuatan, tujuan, rencana, cita-cita, keinginan, dan harapan, baik lahir maupun bathin, tujuan akhirnya harus Lillaah.

Bukankah kita sudah berikrar dalam do’a iftitah : “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Alloh (Lillaah) Tuhan semua alam.” Lillaah itu bukan untuk diucapkan dan dimengerti saja, tapi Lillaah ini untuk diterapkan dan dipraktekkan dalam hati dan perbuatan kita.

Jadi agar amal kita ikhlas, maka terapkanlah Lillaah.

Walloohu a'lam Bishshowaab.



1 Response to "Apakah IKHLAS menjadi busana kita?"

  1. Memang benar,jika urusannya dg nafsu dunia, niatnya sudah tidak ikhlas lagi, seperti kata quran surat AzZumar ayat 2,Aladdiinu lillaahil khoolis,artinya ingatlah apapun dilakukan kebaikan karena Allah adalah diin Allah yang tulus,artinya tanpa perantara apapun, jika beralasan dengan perantara benda-benda, atau sesuatu yang di inginkan karena duniawi, menuju kesesatan yang jauh atau menjadi ketidak ikhlasan, keprihatinan kita bagi umat Islam banyak yang mengambil jalan ini, hingga ibadahnya hilang begitu saja, kebanyakan tidak mengerti dan tidak mengetahuinya, dan syetan memanfaatkan kebanyakan jalan ini,hingga tidak haniif lagi keimanannya, contohlah Nabi Ibrahim dalam mencari haq Allah (Tauhid) yang haniif."laa nufarriqu baina ahadim minhum wanahnu lahuu mukhlishuuna,"tidak ada permasalahan diantara mereka dan kami berikhlash diri, artinya karena Allah seutuhnya(Quuluu amannaa billaahi)

    ReplyDelete

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel